Selasa, 02 September 2014

Perempuan, Perdamaian dan Keamanan: Statement untuk Pemerintah Jokowi-JK


“Melindungi segenap bangsa Indonesia ... dan ikut melaksanakan ketertiban dunia dalam kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial” merupakan mandat konstitusional yang dinyatakan sebagai Pembukaan dalam UUD Negara RI 1945. Sejalan dengan itu, Presiden-Wakil Presiden terpilih, Jokowi-JK, pun meneguhkan perdamaian dan keamanan sebagaibagian dari agenda prioritasnya untukpemerintahan 2014-2019. Hal ini tidak terlepas dari pemahaman tentang tiga persoalan utama bangsa, yang juga berkait dengan sejarah perjalanan bangsa Indonesia yang banyak diwarnai berbagai konflik dan telah menciderai nilai-nilai berbangsa dan bernegara serta menghancurkan kemanusiaan. Potensi dan ancaman konflik ini masih kuat hingga saat ini, dan akan menjadi ancaman serius apabila tidak dikelola dan dicegah secara sistematik dan komprehensif.

Sementara itu, standar penanganan agenda perdamaian dan keamanan telah berkembang jauh di dunia. Pada tahun 2000 melalui Resolusi 1325, Dewan Keamanan PBB menegaskan bahwa perempuan memegang peran penting dalam membangun perdamaian dan keamanan dunia. Sejak itu, Dewan Keamanan terus mengembangkan standar dan kerangka kerja untuk memajukan kepemimpinan perempuan dalam perdamaian dan keamanan, termasuk urgensi penanganan kekerasan seksual dalam konflik secara komprehensif dan efektif. Selain itu, pada akhir 2013, Komite Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW Committee) mengeluarkan Rekomendasi Umum No. 30 sebagai rujukan bagi negara-negara penandatangan Konvensi CEDAW, termasuk Indonesia,dalam mengupayakan penghapusan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan dalam konteks konflik.

Di Indonesia, pelaksanaan agenda ‘Perempuan, Perdamaian dan Keamanan’ (Women, Peace and Security) berkembang melalui peran aktif perempuan akar rumput dan perempuan pembela HAM menyikapi konflik bersenjata yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia sejak 50 tahun yang lalu. Peran aktif perempuan Indonesia menjadi modal sosial, termasuk melalui Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), kendati pun tanpa ada kerangka hukum dan kebijakan yang secara khusus dan komprehensif mendukung. 

Pada tanggal 25-26 Agustus 2014, lebih 50 perempuan akar rumput dan pembela HAM yang bekerja dalam konteks konflik dan paska konflik dari Aceh hingga Papuatelah berkumpul di Jakarta untuk mengkonsolidasikan capaian-capaian dan kendala-kendala kerja selama ini. Disadari bahwa persoalan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan terkait dengan dinamika konflik sering tidak mendapatkan perhatian dan penanganan yang cukup. Peran-peran aktif yang dimainkan beragam perempuan di tingkat lokal dan nasional juga tidak dikenali pemerintah selama ini, apalagi dipahami, diakui dan dikomunikasikasikan sebagai kontribusi good practices dari Indonesia untuk kawasan regional dan dunia internasional. Konsensus yang terbangun dalam forum nasional tersebut adalah urgensi dukungan yang lebih utuh dan efektif bagi pencegahan dan penanganan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan dalam konteks konflik dan bagi kepemimpinan perempuan di bidang perdamaian dan keamanan di Indonesia demi tercapainya perdamaian sejati. 

Berkaitan dengan itu, kami yang bergabung di dalam forum nasional ini berharap agar Presiden dan Wakil Presiden terplih, Bpk. Joko Widodo dan Jusuf Kalla, untuk periode pemerintahan 2014-22019 dapat mengintegrasikan perempuan dan HAM perempuan dalam keseluruhan agenda perdamaian dan keamanannya. Menyimak visi, misi dan rencana aksi yang telah digulirkan semasa kampanye pemilihan presiden, kami mengusulkan integrasi ini dapat dilakukan dengan cara antara lain: 

1. Dalam agenda melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara: 

1.1. Memastikan pencegahan dan penanganan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuandalam upaya membangun TNI dan POLRI yang profesional dan akuntabel, dalam revisi kebijakan termasuk UU No. 34/2004 tentang TNI; Undang-UndangNomor 31 Tahun 1997 tentangPeradilanMiliter; UU Nomor 17/Tahun 2011 tentang Intelijen Negara dan dalam kerja-kerja (jika dibentuk) Dewan Keamanan Nasional

1.1. Melakukan audit anggaran pertahanan keamananagar dapatmengalokasikan anggaran yang lebih besar untuk upayamenegakkan keadilan dan membangun perdamaian 

1.2. Mengembangkan indikator pencegahan dan penanganan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan dalam sistem pengawasan kinerja institusi pertahanan, keamanan dan lembaga terkait lainnya

1.3. Mengintegrasi muatan penghapusan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan, di samping muatan HAM, di dalam kurikulum pendidikan kepolisian dan TNI, pendidikankedinasandankurikulumpelatihanberjenjang yang dimilikipemerintah.

2. Dalam agenda membangun perdamaian abadi melalui pemulihan hak-hak korban dan penuntasan pelanggaran HAM masa lalu, serta menangani dan mengurangi konflik yang mengintegrasikan pendekatan peka gender

2.1. mengembangkan indikator yang peka gender dalam pencegahan dan penanganan konflik, termasuk dalam kebijakan sistem peringatan dini hingga rehabilitasi/rekonstruksi paska konflik

2.2. memastikan adanya kemudahan dan perlakuan khusus dalam upaya pengungkapan kebenaran, keadilan dan pemulihan korban kasus kekerasan terhadap perempuan dalam konteks pelanggaran HAM masa lalu 

2.3. memprioritaskan pemulihan perempuan korban kekerasan seksual termasuk anak yang dilahirkan di wilayah pasca konflik (Aceh, Ambon, Atambua, Papua, Poso), termasuk dengan (a) membuka ruang dan kesempatan bagi korban dan keluarga mengakses kesehatan dan pendidikan serta hukum (keperdataan), (b) pemulihan ekonomi, dan trauma healing, (c) Pengakuan dan pemulihan nama baik, mengangkat harkat dan martabat korban. Termasuk, keseriusan memutus impunitas pelaku kekerasan seksual dan pemulihan hak korban dalam kerjasama RI dan Timor Leste dalam konteks kejahatan masa lalu dan masa ini.

2.4. mengintegrasikan pengetahuan tentang kekerasan terhadap perempuan dalam konteks pelanggaran HAM masa lalu dan tentang HAM perempuan ke dalam kurikulum pendidikan kewarganegaraaan (civic education) untuk mencegah peristiwa serupa berulang di masa mendatang.

2.5. mendukung inisiatif-inisiatif perempuan dan masyarakat sipil dalam menyemai dan merawat perdamaian dalam pengembangan metode rekonstruksi sosial, termasuk dengan cara: membangun pusat informasi tentang perempuan-perdamaian-keamanan, serta mendukung dan mengembangkan program-program pendidikan untuk kebhinekaan dan perdamaian.

2.6. Memberikan perhatian khusus pada penyelesaian konflik di Papua dengan melibatkan perempuan serta mengintegrasikan perspektif HAM perempuan. Dan untuk itu memberi prioritas pada a.l. (a) menghapus stigma separatis kepada Papua; b). menghentikan pendekatan keamanan dalam menangani konflik Papua, termasuk dengan mengurangi penempatan aparat dan pos-pos keamanan, termasukpenempatansatuan-satuanintelijen, dan dan karena itu lebih mengedepankan pendekatan persuasif; (b) menyelenggarakan Dialog Damai untuk menyelesaikan konflik Papua; (c) mencegah berbagai bentuk kekerasan di Timika, Lanny Jaya dan wilayah lainnya; (d) menangani pengungsi kekerasan di Lani Jaya dan memenuhi hak-hak dasar mereka; (e) segera dan tanpa penundaan melaksanaan Perdasus Pemulihan Hak Perempuan Korban Kekerasan dan Pelanggaran HAM di Papua, yang sejak tahun 2011 masih di Kemendagri;(f) membukaaksesmasukke Papua bagisemuapihakterkaitpenyelesaiankonflik Papua.

2.7. Memperbaiki tata kelola sumber daya alam (SDA) dengan terlebih dahulu mengkaji ulang segenap perizinan pengelolaan SDA dan perencanaan tata ruang yang dilakukan dengan partisipasi aktif masyarakat, termasuk perempuan, dan dengan melakukan investigasi dan penegakan hukum atas pelaku korupsi dalam pengelolaan SDA

2.8. Memprioritaskan pendekatan kemanusian dan HAM serta perbaikan pelayanan publik dalam menghadapi konflik-konflik lain, termasuk di daerah perbatasan.

2.9. Mendorong penyusunan dan pelaksanaan Rencana Aksi Daerah sebagai implementasi dari Perpres No 18 tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial yang sesuai dengan konteks konflik masing-masing. 

2.10. Mengingat beragam dan kompleksnya bentuk konflik di Indonesia (bukan hanya konflik sosial) maka perlu mengadopsi usulan dari kelompok perempuan, yang telah disusun sejak tahun 2007, tentang Rencana Aksi Nasional untuk pencegahan dan penanganan konflik sesuai prinsip-prinsip Resolusi DK PBB nomor 1325 dan resolusi lainnya yang relevan.

3.  Membangun Sistem dan Penegakan hukum yang berkeadilan jender dengan: 

3.1 Memprioritaskan penyempurnaan payung hukum penanganan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, termasuk di dalam konteks konflik 

3.2. Mengintegrasikan persoalan akses keadilan bagi perempuan korban dalam penuntasan korupsi, mafia hukum dan persoalan-persoalan penegakan hukum

3.3. melakukan review dan menghapuskan segala peraturan-perundangan yang diskriminatif, termasuk diskriminasi dan kekerasan berlapis terhadap perempuan. Data Komnas Perempuan menunjukkan bahwa di Agustus 2014 terdapat 365 kebijakan diskriminatif atas nama agama dan moralitas, atau pengingkatan sebanyak 111 kebijakan selama 5 tahun terakhir yang ada di tingkat nasional dan daerah. 

3.4. memastikan perlindungan hak kemerdekaan beragama dan berkeyakinan, termasuk dengan (a) mereview/mencabut berbagai aturan yang melanggar kebebasan beragama, termasuk tentang izin pendirian rumah ibadah; (b) bertindak tegas menghukum pelaku kekerasan dan diskriminasi yang mengintimidasi kelompok minoritas agama, (c) memenuhi hak-hak kewarganegaraan kelompok minoritas agama dan kepercayaan yang dilindungi Konstitusi, termasuk pencatatan perkawinan, akte kelahiran dan kartu tanda penduduk, dan (d) memulihkan hak-hak korban, termasuk perempuan minoritas agama dan kepercayaan yang secara langsung maupun tidak langsung mengalami kekerasan dan diskriminasi karena ia anggota kelompok minoritas dan juga karena posisinya sebagai perempuan.

***
Statement ini dirumuskan di Workshop Perempuan, Perdamaian dan Keamanan yang diselenggarakan pada tanggal 25-26 Agustus 2014 di Hotel Borobudur atas kerjasama Indonesia Beragam, Aliansi GBV, Asia Pacific Women's Alliance for Peace and Security dan KOMNAS Perempuan. Rekomendasi dari workshop ini dikirimkan ke Rumah Transisi untuk dimasukkan pada Pokja terkait Keamanan.
Jika ada yang ingin ditanyakan terkait dengan hasil workshop ini bisa kontak saya di dwiruby@amanindonesia.org 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar